Ilustrasi Covid-19 varian Lambda. (Foto: Ist)

NEW YORK, iNews.id – Covid-19 varian Lambda dipercaya para ilmuwan paling berbahaya. Keyakinan para ilmuwan itu tertuang dalam sebuah studi berjudul SARS-CoV-2 Lambda variant exhibits higher infectivity and immune resistance (Varian SARS-CoV-2 Lambda Tunjukkan Infektivitas dan Resistensi Kekebalan yang Lebih Tinggi).  

Dalam penelitian yang diterbitkan di repositori pracetak bioRxiv, Rabu (28/7/2021) itu, peneliti menemukan bahwa mutasi virus tersebut dapat menghindari antibodi penawar dan sangat menular. Mutasinya yang cepat, banyak laporan tentang kemunculan berbagai varian Covid yang berlangsung terus-menerus. Beberapa di antaranya dianggap sebagai varian yang menjadi perhatian alias variants of concern (VOC) karena tingginya risiko penularannya. 

Galur Covid yang masuk dalam kategori VOC yakni varian alpha—yang pertama kali ditemukan di Inggris. Berikutnya ada varian beta—yang muncul mula-mula di Afrika Selatan. Selain itu, ada pula varian delta yang pertama kali ditemukan di India.

Sementara, prevalensi sejumlah varian lainnya yang disebut sebagai variants of interest (VOI) alias “varian menarik” (kelasnya di bawah varian yang menjadi perhatian), juga mendapat pengawasan dari para peneliti karena bisa saja menimbulkan ancaman global.

Covid-19 varian lambda atau “varian C37” telah menyebar dengan cepat di Amerika Selatan, khususnya di Peru. Sampel varian virus itu paling awal didokumentasikan pada Agustus 2020. Akan tetapi, pada 14 Juni 2021, varian lambda hanya ditandai sebagai VOI oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dalam laporannya pada pertengahan Juni lalu, WHO melaporkan, varian lambda dikaitkan dengan tingkat substantif penularan komunitas di beberapa negara. Dengan peningkatan prevalensi dari waktu ke waktu bersamaan dengan peningkatan insiden Covid-19. Menurut badan PBB itu, masih dibutuhkan lebih banyak penelitian terhadap varian tersebut.

Pada 15 Juni itu, WHO mencatat, varian lambda telah terdeteksi di 29 negara atau area di lima wilayah WHO, meskipun kehadirannya lebih menonjol di Amerika Selatan.

“Pihak berwenang di Peru melaporkan bahwa 81 persen kasus Covid-19 yang diurutkan sejak April 2021 dikaitkan dengan lambda. Argentina melaporkan peningkatan prevalensi lambda sejak minggu ketiga Februari 2021, dan antara 2 April dan 19 Mei 2021, varian tersebut menyumbang 37 persen dari kasus Covid-19 yang diurutkan,” demikian catatan WHO kala itu, seperti dikutip kembali Alarabiyah.

WHO dan berbagai lembaga kesehatan masyarakat lainnya mencoba memahami bagaimana cara kerja varian lambda menginfeksi orang, dibandingkan dengan jenis-jenis virus lainnya. Peneliti juga mencari tahu, apakah varian tersebut lebih menular dan lebih kebal terhadap vaksin.

Pada pertengahan Juni, WHO mengatakan, Covid-19 varian lambda membawa sejumlah mutasi dengan dugaan implikasi fenotipik, seperti potensi peningkatan penularan atau kemungkinan peningkatan resistensi terhadap antibodi penetralisasi.

Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan di Cile menunjukkan bahwa sekitar 60 persen penduduk negara itu telah menerima setidaknya satu dosis vaksin corona. Dengan kata lain, tingkat vaksinasi di Cile terbilang sangat tinggi.

Akan tetapi, selama musim semi 2021, terjadi lonjakan cepat dalam pertambahan kasus Covid-19 yang diamati di Cile. Penyebabnya adalah, varian lambda mampu lolos dari respons imun yang diinduksi melalui vaksinasi.

Studi baru yang dirilis bioRxiv menggunakan analisis filogenetik molekuler untuk mempelajari sifat evolusi varian lambda. Para peneliti dalam riset tersebut telah mengindikasikan dua fitur virologi penting dari varian lambda, yakni resistensinya terhadap tanggapan kekebalan yang diinduksi vaksinasi dan; peningkatan dalam tingkat penularan.

Meskipun varian lambda telanjur diklasifikasikan sebagai VOI, para peneliti telah menyoroti potensi varian tersebut untuk menyebabkan epidemi di masa depan. Sementara sampai saat ini, Covid varian delta masih dianggap paling berbahaya.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) pada minggu ini menggambarkan varian delta sama menularnya dengan cacar air. Varian asal India itu juga dapat menyebabkan penyakit parah, demikian New York Times melaporkan, mengutip dokumen internal CDC. Varian delta juga lebih mungkin untuk menembus perlindungan yang diberikan oleh vaksin.

Namun, data CDC menunjukkan, vaksin ternyata masih sangat efektif mencegah penyakit serius, potensi pasien untuk rawat inap, dan kematian pada orang-orang yang sudah divaksinasi. Penelitian baru menunjukkan, orang yang sudah divaksinasi dan kemudian terinfeksi varian delta, membawa sejumlah besar virus di hidung dan tenggorokan, kata Direktur CDC Rochelle Walensky kepada Times.


Editor : Nani Suherni

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network