Cerita Rakyat di Lampung, Asal-Usul Kota Mesuji
BANDARLAMPUNG, iNews.id – Cerita rakyat di Lampung ini adalah asal-usul Kota Mesuji. Sebuah daerah yang tidak terlepas dari sejarah Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan.
Menurut cerita, pada tahun 1865, Sirah Pulau Padang Kayu Agung Onder Afdeling Kayu Agung melaksanakan pemilihan pasirah. Pemilihan ini diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Kayu Agung.
Pemilihan pasirah ini dimaksudkan untuk memilih antara dua kakak-beradik yaitu Muhamad Ali bin Pangeran Djugal dan adiknya Muhamad Batun bin Pangeran Djugal yang menimbulkan sistem politik adu domba atau devide et impera terjadi saat itu.
Masalah ini mendatangkan perasaan tak menyenangkan bagi sang kakak, sehingga pada saat itu beliau memutuskan hijrah dengan mendatangi daerah baru dan mengajak pengikut-pengikutnya untuk membuka daerah baru yang merupakan cikal bakal dari marga Mesuji Lampung, serta mulai mengajak sanak keluarga, kerabat serta teman-temanya untuk pindah ke Sungai Kabung Mesuji.
Suku Sirah Pulau Padang atau disebut Suku Seri Pulau. Menurut cerita rakyat di Lampung tentang Mesuji, setelah beberapa tahun, kampung ini telah ditempati yang pada awalnya hanya dari lahan kosong, tetapi terus menunjukkan peningkatan kesejahteraan penduduknya.
Pada tanggal 22 Oktober 1886 Pemerintah Hindia Belanda memberikan penghargaan kepada Muhammad Ali berupa gelar Pangeran Mad, dengan simbol berupa payung obor-obor berwarna putih.
Hal ini menandakan bahwa Pangeran Mad sebagai raja adat di Mesuji dan mengesahkan warga dari kampung tua di Mesuji yang berasal dari Sumatra Selatan, Palembang, Seri Pulau Padang, Kayu Agung dengan sebutan Marga Mesuji.
Penyebaran mereka terus dilakukan berpencar ke tepian sungai lain yang tidak jauh. Kampong tua mencapai pada masnya dan berada di pinggir sungai-sungai besar.
Mata pencaharian masyarakatnya umumnya hanya mencari ikan dan menebang kayu, bukan hasil budi daya tetapi hasil alam yang dimanfaatkan.
Dari segi ekonomi yang sangat menjanjikan dan sejahtera, ditambah dengan hasil usaha banyak dijual ke Jakarta menggunakan kapal kayu yang mereka buat, dengan jarak tempuh dua hari dua malam melewati sungai dan laut.
Alasan lebih memilih menggunakan jalur laut karena pada saat itu belum ada jalan darat menuju Bandar Lampung yang di daerah sekitar masih hutan yang belantara.
Cerita rakyat di Lampung ini berlanjut pada tahun 1930. Jumlah Marga Mesuji baik penduduk asli dan inlander sekitar 3.586 jiwa serta warga China berjumlah 8 jiwa.
Pada tahun 1982, program transmigrasi lokal yaitu perpindahan penduduk antar-kabupaten dalam satu provinsi, ditempatkan di wilayah Mesuji yang saat itu wilayah Mesuji masih merupakan bagian wilayah Kabupaten Lampung Utara.
Atas kekuatan masyarakat, akhirnya disahkanlah bentuk pengesahan Mesuji sebagai kabupaten yang telah ditandatangani oleh 59 kampung dan persetujuan dari masyarakat yang ada.
Menyikapi aspirasi masyarakat yang bersemangat untuk tanah mesuji, akhirnya pada tanggal 26 September 2007, DPRD Provinsi Lampung menyetujui usulan pembentukan Kabupaten Mesuji melalui Rapat Paripurna Persetujuan Pembentukan Kabupaten Mesuji dan Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 29 Oktober 2008, DPR melalui Sidang Paripurna mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Kabupaten Mesuji. Selanjutnya pada tanggal 26 November 2008 terbitlah Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung yang kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahir Kabupaten Mesuji.
Cerita rakyat di Lampung mengenai asal usul Mesuji mengajarkan kita bahwa segala usaha yang dilakukan pasti ada hasilnya. Seperti perkembangan Mesuji yang pada awalnya hanya lahan kosong yang ditempati, menjadi sangat luas dan membentuk sebuah peradaban baru.
Inilah yang membuktikan kekuatan manusia dari zaman homo sapiens yang hidup berkelompok dan bermasyarakat yang terkenal sejak zaman dahulu.
Selain itu, dari sejarah awal Mesuji ini juga menunjukkan bukti bagaimana sebuah peradaban dibangun dari suatu daerah yang dapat mengubah serta mensejahterakan seluruh umat yang ada di sebuah permukiman dalam bentuk kehidupan masyarakat di dalamnya.
Editor: Reza Yunanto