KDRT Berujung Maut Bisa Dicegah dengan Kepedulian Tetangga, Begini Saran Kriminolog

JAKARTA, iNews.id- Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berujung pada penghilangan nyawa masih saja kerap terjadi. Mereka yang tega melakukannya bisa karena memang sudah berencana atau terjadi secara spontan.
Kriminologi Universitas Budi Luhur Chazizah Gusnita mengatakan, penghilangan nyawa seseorang dalam kasus KDRT itu bersifat kasuistik. Hal itu tergantung dari faktor pemicunya. Khusunya komunikasi yang tidak lancar dan emosi yang berkepanjangan.
Chazizah mencontohkan. pasangan suami istri (pasutri) yang komunikasinya tidak lancar, terbelit ekonomi ataupun lain sebagainya hingga suatu saat mencapai titik emosi tertentu. Saat itu, mereka tidak ada rencana sekalipun untuk menghilangkan nyawa pasangannya, namun karena sudah mencapai titik emosi, akhirnya terjadi pembunuhan.
Kemudian, lanjut Chazizah, pasutri tersebut sudah sama-sama saling memiliki amarah yang besar akibat faktor pemicunya tak bisa terselesaikan. Akhirnya, salah satu dari pasangan merencanakan untuk menghilangkan nyawa pasangannya.
"Jadi sebenarnya komunikasi yang harus berjalan baik dalam sebuah hubungan. Pasutri yang setiap hari bersama saat pandemi seperti sekarang ini itu justru banyak persoalan yang memicu konflik. Nah, komunikasi harus berjalan baik," katanya.
Selain memperbaiki komunikasi yang merupakan bagian internal pencegahan KDRT berujung kasus pembunuhan, masyarakat bertetangga sudah seharusnya saling peduli apabila melihat tetangganya mengalami konflik.
Banyak masyarakat kota besar itu, kata Chazizah tidak mau peduli dan tidak mau tahu urusan rumah tangga yang terjadi dilingkungannya. Padahal, itu merupakan salah satu pemicu KDRT berujung pembunuhan.
"Misalnya tetangga ada yang melihat percecokan pasutri, tetangga itu harusnya lebih peduli, jangan dibiarkan karena itu bisa memicu. Tegur dan berikan perhatian. Kalau lingkungan aware, pasutri yang punya rencana ingin melakukan pembunuhan sudah gentar duluan, sebab lingkungan mengawasi. jadi kalau ada cekcok, tetnagga wajib menegur," paparnya.
Merujuk sejumlah pasal dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, tindakan kekerasan dalam rumah tangga hingga menyebabkan korban meninggal dunia termasuk penganiayaan yang berakibat mati karena terdapat kesengajaan (opzet) untuk menganiaya dari pelakunya dan bukan melakukan kesengajaan (opzet) maupun kelalaian (culpa) untuk membunuh korban.
Teori kesengajaan (opzet) yang dikemukakan oleh Jonkers dalam Handboek van het Nederlandsc–Indische Strafrecht menunjukkan bahwa hukum pidana mengenakan 3 (tiga) gradasi opzet, yaitu:
1. opzet als oogmerk, yaitu kesengajaan yang memang ditujukan terhadap orang yang dimaksud;
2. opzet bij noodzakelijkheid of zekerbewustzijn,yaitu kesengajaan yang secara pasti diketahui oleh pelakunya bahwa kesengajaan itu mempunyai akibat sampingan; dan
3. opzet bij mogelijkheidsbewustzijnatau voorwardelijk opzet, yaitu kesengajaan yang mungkin menyebabkan akibat samping atau kesengajaan bersyarat
Berikut pasal pasal tersebut, Pasal untuk menjerat pelaku KDRT diatur dalam Pasal 5 huruf a jo. Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi:
Pasal 5 UU PKDRT
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
kekerasan fisik;
kekerasan psikis;
kekerasan seksual; atau
penelantaran rumah tangga.
Pasal 44 UU PKDRT
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Editor: Kastolani Marzuki